
4. Aluminium Dapat Ditukar (Al-dd)
Alumunium merupakan kation yang mendominasi kompleks jerapan pada tanah asam, alumunium tanah diikat kuat dan kelarutannya dalam larutan tanah ditentukan oleh pH, kelarutan Al akan terjadi pada pH kurang dari 5,0. Hambatan pertumbuhan tanaman sering dihubungkan dengan keracunan Al. Jumlah alumunium yang dapat dipertukarkan dapat dijadikan dasar penentuan kebutuhan kapur. Alumunium ditetapkan dengan metode titrimetri dengan pengekstrak KCl 1 M. Alumunium dalam tanah merupakan sumber keasaman karena Al3+ akan menyumbangkan ion H+ ke dalam tanah melalui proses hidrolisis.
Al3+ + 3H2O –> Al(OH)3 + 3H+
Keasaman dapat dituker, mengukur jumlah (m.e./100 g) Al3+ dan H+ yang dapat dipertukarkan. Keasaman tanah dapat dipertukarkan dengan metode titrasi dengan penambahan pereaksi pengkompleks atau ion F–. Penetapan Al dapat ditukar (dd) menggunakan pengekstrak KCl 1 M atau BaCl2.
Bila kation-kation Al3+ yang terserap pada partikel liat diekstraksi dengan larutan KCl 1 N maka akan terjadi pertukaran kation dan pembebasan ion Al3+ dan ion H+. Selanjutnya ion H+ dan Al3+ dapat ditentukan dengan jalan titrasi larutan jenuh dengan larutan baku NaOH sehingga terbentuk Al(OH)3 dan air. Penambahan NaF pada larutan yang telah dititrasi akan mengubah senyawa Al(OH)3 menjadi kompleks stabil dari fluoroaluminat dan akan mengeluarkan NaOH. Jumlah ion Al3+ yang dibebaskan setara dengan NaOH yang dikeluarkan. NaOH produk diketahui dengan menitarnya memakai larutan HCl baku (Mc Lean, 1965 dalam Mahfud, 1990).
5. Nilai Tukar Kation (NTK) dan Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Penetapan NTK meliputi penetapan kation-kation yang dapat dipertukarkan dan KTK. NTK dari tanah tergantung pada jumlah, jenis liat dan humus. Satu ekivalen adalah suatu jumlah yang secara kimia setara dengan 1 gram Hidrogen. Jumlah atom setiap satu ekivalen adalah 6,02 x 1023 dengan demikian 1 miliekivalen setara dengan 1 gram Hidrogen dan terdiri dari 6,02 x 1020 atom Hidrogen. Bila tanah memiliki Kapasitas Tukar Kation 1m.e./100gram berarti setiap 100 gram tanah mengandung 6,02 x 1020 muatan negatif. Dalam Taksonomi Tanah, semenjak tahun 1987, satuan m.e./100gram diganti menjadi cmol (+)/kg dimana 1 m.e./100gram tanah = 1 c.mol (+)/kg tanah.
Kapasitas adsorpsi dinyatakan sebagai jumlah maksimum milligram setara (mgst) kation yang dapat diadsorpsi tiap 100 gram tanah kering mutlak (M. Sudjadi, IM. Widjik, 1971).
Reaksi tukar kation dalam tanah terjadi terutama di dekat permukaan liat yang berukuran seperti koloid dan partikel-partikel humus yang disebut misel. Setiap dapat mempunyai beribu-ribu muatan negatif yang kemudian dinetralisir oleh kation yang diadsorbsi (Foth, H.D, 1988).
Pertukaran kation dalam tanah terjadi karena adanya muatan negatif dari koloid tanah menyerap kation-kation dalam bentuk dapat dipertukarkan. Kation tersebut terdiri dari kation pembentuk kebasaan (K+, Na+, Ca2+, Mg2+) serta kation pembentuk keasaman (Al3+, H+) (Soepartini, M, 1987).
Hampir semua kation yang dapat diserap oleh liat dan humus dapat mempengaruhi sifat kimia dan fisika tanah. Kation-kation itu adalah K+, Na+, Ca2+, Mg2+, Al3+, dan H+, karena kation-kation itu mudah dipertukarkan maka dinamakan juga kation-kation yang dapat dipertukarkan. Kejadian ini disebut pertukarkan kation dan merupakan kejadian terpenting dalam tanah.
Pada dasarnya kapasitas adsorbs dapat dibagi dalam dua tahap, pada tahap pertama kompleks koloid tanah dijenuhkan dengan satu kation indeks hingga seluruh kation yang dapat dipertukarkan dapat dikeluarkan dari kompleks jerapan tanah. Pada tahap kedua, kation indeks yang dijenuhkan koloid tanah ditukarkan secara kuantitatif dengan kation lainnya, pertukaran ini dinyatakan dalam milligram setara tiap 100 gram tanah kering mutlak.
Metode-metode penetapan Nilai Tukar Kation berdasarkan perbedaan pH dari pengekstrak dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
- Menggunakan pengekstrak disangga pada pH 8,2 (BaCl2-trietanolamin)
- Pengekstrak disangga pada pH 7,0 NH4-asetat
- Metode pengekstrak tak disangga (KCl)
Besarnya Kapasitas Tukar Kation dipengaruhi oleh sifat dari ciri tanah itu sendiri, yaitu:
a. pH tanah
b. Tekstur (kadar liat) tanah
c. Jenis mineral liat
d. Bahan Organik
e. Pengapuran dan Pemupukan
6. Nitrogen Total
Sebagian besar nitrogen dalam tanah didapatkan dalam bentuk organik, dan hanya sedikit dari nitrogen tanah terdapat dalam bentuk ammonium dan nitrat yang merupakan bentuk nitrogen tersedia bagi tanaman (Hardjowigeno, 1987).
Dua cara penetapan nitrogen total yang sering digunakan yaitu cara Kjeldahl dan cara Dumas. Cara Kjeldahl yang digunakan biasanya cara makro, mikro, atau ultra makro. Pada dasarnya cara Kjeldahl adalah destruksi nitrogen ke dalam bentuk ammonium (NH4+) dengan asam sulfat pekat sebagai pendestruksi, kemudian NH4+ yang terbentuk dibebaskan dengan NaOH. Selanjutnya dilakukan titrasi terhadap larutan NH4H2BO3 yang terbentuk dengan asam sulfat 0,5 N, sedangkan kolorimetri yaitu nitrogen dalam tanah diubah menjadi (NH4)2SO4 dengan asam sulfat pekat sebagai pendestruksi dan selen sebagai katalis (menaikkan titik didih), kemudian (NH4)2SO4 yang terbentuk direaksikan dengan pereaksi pewarna indofenol menggunakan alat Auto Analyzer.
7. Fosfor dan Kalium
Untuk memenuhi kebutuhan tanaman empat sumber fosfor dan kalium utama yaitu; 1. Pupuk buatan, 2. Pupuk kandang, 3. Sisa tanaman dan pupuk hijau, 4. Senyawa alamiah baik organik maupun anorganik dari kedua unsur tersebut yang ada dalam tanah. Fosfor adalah bagian terpenting penyusun sel hidup, dalam tanah berkisar antara 0,02-0,5 % fosfor atau 0,12 % P2O5 (Cole, 1958).
Fosfor terdapat sebagai: 1. Senyawa anorganik hasil kombinasi unsur-unsur kalsium, magnesium, besi, alumunium, dan mineral liat, 2. Senyawa organik dalam bentuk sisa-sisa tanaman atau binatang atau hasil-hasil kegiatan mikroba. Konsentrasi fosfor tersedia dalam larutan tanah umumnya rendah bila dibandingkan dengan unsur-unsur hara lainnya. Fosfor dalam tanah merupakan bentuk organik dan anorganik. Bentuk anorganik biasanya lebih tersedia dan dapat dibedakan atas Al-fosfat, Fe-fosfat, dan Ae-Al-fosfat.
Penyerapan kalium oleh tanaman dapat mendekati jumlah nitrogen bahkan melebihi jumlah nitrogen tersebut, walaupun jumlah kalium dalam tanah terbatas. Ketersediaan kalium diartikan sebagai kalium yang dapat dipertukarkan dan dapat diserap oleh tanaman. Sehubungan dengan itu, maka ketersediaan kalium sangat tergantung penambahan dari luar dan adanya kehilangan dalam tanah.
Bentuk-bentuk kalium dalam tanah dapat dibedakan dalam tiga kelompok:
a. K-tidak tersedia: K yang terikat pada bagian struktur mineral primer dan sekunder.
b. K-lambat tersedia: lambat laun dapat menjadi K-tersedia, 1-10 % dari K-total.
c. K-langsung tersedia: bagian yang larut dan teradsorbsi pada permukaan koloid tanah jumlahnya 1-2 % dari K-total.
Ada dua macam penetapan untuk penilaian K2O. Kadar K-potensial ditetapkan dengan ekstrak HCl 25 % akan mengubah bentuk kalium menjadi bentuk ion yang larut dalam larutan tanah karena adanya pertukaran oleh ion H+.
Pada dasarnya sebagian besar dari penetapan fosfor terdiri dari dua tahap, tahap pertama yaitu pengekstrakan fosfat dengan beberapa macam pereaksi dan yang kedua penetapan fosfor secara kuantitatif dari ekstrak-ekstrak tersebut. Begitu juga untuk pengukuran kalium yang pengukurannya dilakukan dengan Spektrofotometer Serapan Atom emisi.
Pemilihan metode ekstrak penetapan fosfor dalam tanah tergantung pada konsentrasi senyawa yang dapat menganggu penetapan itu sendiri. Olsen, Cole, Watanabe, dan Dean (1954) menganjurkan untuk memakai larutan NaHCO3 0,5 M pH 8,5 untuk tanah bereaksi basa, NaHCO3 akan mengurangi aktivitas Ca2+ yang berarti memperbesar kelarutan fosfat. Untuk tanah masam dan netral diperbesar daya larut fosfor yang berada dalam bentuk Ca-P, fosfat kompleks adsorpsi digantikan oleh HCO3-, CO32-, dan OH-. Cara penetapan fosfor dengan biru molibdat sangat peka, oleh karena itu cara ini sangat banyak digunakan, baik untuk ekstrak kandungan fosfornya rendah maupun sebagai fosfor potensial. Ion-ion ortofosfat dalam lingkungan asam fosfomolibdat, dan reduksi yang selektif akan membentuk warna biru, intensitas warna yang dibentuk akan sebanding dengan fosfat yang terdapat dalam asam heteropoli tersebut, dan warna biru yang terbentuk akan bertahan lebih kurang 24 jam (Black, 1965).
Dalam analisis fosfat tersebut menggunakan metode Bray I dan II serta metode Olsen untuk fosfor tersedia, sedangkan untuk fosfor dan kalium sebagai unsur cadangan digunakan ekstrak HCl 25 %.
8. Karbon Organik
Bahan organik merupakan bahan yang paling penting dalam manciptakan kesuburan tanah, baik secara fisika, kimia, maupun dari segi biologi tanah. Bahan organik juga merupakan sumber hara tanaman, terutama N, serta menjadi sumber energi dari sebagian besar organisme tanah.
Penetapan bahan organik berdasarkan oksidasi karbon, dua cara oksidasi yang sering digunakan untuk penetapan ini adalah oksidasi basah dan oksidasi kering. Laboratorium kimia Balittanah menggunakan metode oksidasi basah dengan menggunakan kalium dikhromat dan asam sulfat pekat, pengukuran kepekatan bahan organik dilakukan secara kolorimetri, oksidasi tersebut dikenal dengan nama metode Kurmies. Sedangkan metode kering menurut Dentendt hanya digunakan untuk kalibrasi metode oksidasi basah (Sudjadi, 1971).
Dalam tanah terdapat hubungan antar kadar bahan organik dengan nitrogen yang dinyatakan dalam nilai C/N karena
a.Terdapat kemungkinan nitrogen antara jasad renik dan tanaman.
b.Diperlukan dalam pengaturan bahan organik tanah dan nitrogen tersedia dan kecepatan pembusukan (Soepartini, 1987).
c.Tekstur Tanah
Tekstur tanah menunjukkan perbandingan relatif dari berbagai kelompok besar butir primer, kelompok ukuran butir tersebut adalah pasir 2 mm – 50 µ, debu 50 µ-2 µ, liat <2 µ.
Fraksi pasir dan debu mempunyai aktifitas permukaan yang rendah sehingga secara fisik dan kimia dapat dikatakan tidak aktif. Fraksi liat menentukan kapasitas menahan air dan Nilai Tukar Kation. Penetapan tekstur yang dilakukan di laboratorium kimia Balittanah Bogor yaitu metode pipet, dan untuk kadar pasir, debu serta liat ditetapkan secara gravimetri. Dalam penetapan ini mula-mula bahan organik dioksidasikan dan garam yang mudah larut dihilangan dari tanah. Setelah itu, pasir dipisahkan dengan pengayakan basah, debu dan liat dipisahkan dengan cara pemipetan yang dilakukan berdasarkan kecepatan mengenap menurut hukum Stoke (Akademi Kimia Analisis, 1980).