Anatomi Bencana Sumatera: Ketika Hujan Ekstrem Bertemu Dosa Ekologis

gray scale photo of trees

Sebuah Investigasi Dokumenter

Prolog: Air yang Mengingat

Akhir November 2025 akan dikenang sebagai salah satu bencana hidrometeorologi terburuk dalam sejarah modern Sumatera. Dalam tiga hari beruntun, 25-27 November, langit seolah menumpahkan seluruh amarahnya. Curah hujan mencapai 411 milimeter per hari di Kabupaten Bireuen—setara dengan volume hujan satu setengah bulan yang tumpah dalam seketika. Air datang bukan sebagai berkah, melainkan sebagai vonis eksekusi terhadap ratusan ribu jiwa di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Hingga 1 Desember 2025, korban jiwa telah mencapai 604 orang meninggal, 464 orang hilang, 2.600 orang luka-luka, dengan 1,5 juta jiwa terdampak dan lebih dari 570.700 warga masih mengungsi. Angka-angka ini bukan sekadar statistik—setiap digit mewakili tangisan, kehilangan, dan puing-puing kehidupan yang hancur.

Namun, narasi yang berkembang di ruang publik terlalu sederhana: ini bukan sekadar bencana alam. Ini adalah konsekuensi sistemik dari pilihan-pilihan pembangunan yang mengabaikan hukum ekologi. Ini adalah tagihan yang jatuh tempo dari “dosa ekologis” yang diakumulasi selama puluhan tahun.

Bab I: Siklon Tropis Senyar dan Anatomi Hujan Ekstrem

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat fenomena luar biasa: kemunculan siklon tropis senyar di sekitar Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat. Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani menjelaskan bahwa curah hujan pada tanggal tersebut sangat ekstrem, dengan warna hitam pekat pada radar cuaca—indikator intensitas tertinggi.

Data menunjukkan bahwa Siklon Tropis KOTO yang berkembang di Laut Sulu dan Bibit Siklon 95B di Selat Malaka menciptakan konvergensi mematikan. Sistem cuaca ini menarik massa udara basah, membentuk awan konvektif masif yang meluas di atas wilayah Aceh hingga Sumatera Utara. Angin kencang dan gelombang tinggi 2,5-4,0 meter di Selat Malaka bagian tengah dan perairan timur Sumatra Utara memperparah kondisi.

Tapi inilah yang perlu dipahami: cuaca ekstrem adalah pemicu, bukan penyebab tunggal. Tanah di wilayah tersebut tidak mampu menadah tumpahan air hujan ekstrem tersebut. Pertanyaannya adalah: mengapa?

Bab II: Hutan yang Hilang—Data Deforestasi yang Mengejutkan

Dr. Hatma Suryatmojo, peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS dari Universitas Gadjah Mada, menegaskan: bencana banjir bandang November 2025 adalah akumulasi “dosa ekologis” di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS).

Sumatera Utara: Luka Terbesar

Data Global Forest Watch mencatat kehilangan mengerikan: Sumatera Utara kehilangan 390.000 hektare hutan primer basah dari 2002 hingga 2024. Dalam periode 2001-2024, total kehilangan tutupan hutan mencapai 1,6 juta hektare. Enam kabupaten dengan kerusakan terparah adalah:

  • Mandailing Natal: 170.000 ha
  • Labuhanbatu Selatan: 160.000 ha
  • Asahan: 130.000 ha
  • Langkat: 130.000 ha
  • Padang Lawas: 120.000 ha
  • Labuhanbatu: 120.000 ha

WALHI Sumatera Utara mencatat laju deforestasi di ekosistem Batang Toru—habitat kritis Orangutan Tapanuli—mengalami kenaikan 30 persen dalam lima tahun terakhir. Dari total luasan 250.000 hektare, kerusakan dipercepat oleh industri ekstraktif.

Aceh: Meningkat 19 Persen dalam Setahun

Aceh kehilangan 320.000 hektare hutan primer basah dari 2002-2024. Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh mencatat peningkatan deforestasi sebesar 19 persen—dari 8.906 hektare pada 2023 menjadi 10.610 hektare pada 2024.

Sumatera Barat: Deforestasi Tertinggi Nasional

Periode 2001-2024, Sumatera Barat kehilangan 740.000 hektare tutupan pohon, dengan tiga kabupaten terparah:

  • Dharmasraya: 150.000 ha
  • Pesisir Selatan: 140.000 ha
  • Pasaman Barat: 120.000 ha

Walhi Sumbar mencatat bahwa pada 2024 saja, deforestasi mencapai 32.000 hektare—salah satu laju tertinggi di Indonesia.

Konteks Nasional

Auriga Nusantara melaporkan deforestasi Indonesia 2024 mencapai 261.575 hektare, meningkat 4.191 hektare dari tahun sebelumnya. Yang mengkhawatirkan: 57 persen (149.876 ha) terjadi di kawasan hutan, 62 persen (160.925 ha) terjadi di habitat megafauna ikonik, dan 59 persen (153.498 ha) terjadi akibat konsesi yang diberikan pemerintah.

Indonesia menempati peringkat kedua deforestasi terparah di dunia menurut World Population Review, dengan laju mencapai 10 juta hektare per tahun pada 2024.

Baca Juga  Pencemaran Udara

Bab III: Jejak Kayu Gelondongan—Misteri yang Mengungkap Kejahatan

Fenomena paling mengejutkan dari banjir Sumatera adalah ribuan kayu gelondongan yang terseret arus, dari hulu hingga menumpuk di pantai. Di Desa Aek Garoga, Tapanuli Selatan, pemukiman warga tertutup kayu. Di Pantai Air Tawar Padang, kayu-kayu itu berserakan sepanjang bibir pantai.

Polemik dan Investigasi

Awalnya, Dirjen Penegakan Hukum Kehutanan Dwi Januanto Nugroho menyatakan kayu-kayu tersebut berasal dari pohon lapuk, pohon tumbang, dan material bawaan sungai. Namun pernyataan ini memicu kemarahan publik.

Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu memastikan dalam sambungan telepon yang viral: “Saya pastikan illegal [logging].”

Dwi Januanto kemudian meralat: “Saya perlu menegaskan penjelasan kami tidak pernah dimaksudkan untuk menafikan kemungkinan adanya praktik ilegal di balik kayu-kayu yang terbawa banjir.”

Modus Pencucian Kayu Terungkap

Kementerian Kehutanan mengungkap modus sofistikasi kejahatan kehutanan: pencucian kayu ilegal melalui skema Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) di Areal Penggunaan Lain (APL). Kayu hasil pembalakan liar dari kawasan hutan “dicuci” menjadi seolah-olah legal dengan dokumen PHAT.

Sepanjang 2025, Kemenhut menangani sejumlah kasus di wilayah terdampak:

  • Aceh Tengah (Juni 2025): Penebangan ilegal dengan barang bukti 86,6 mÂł kayu
  • Solok, Sumbar (Agustus 2025): 152 batang kayu/log, 2 unit ekskavator, 1 unit bulldozer
  • Kepulauan Mentawai (Oktober 2025): 4.610,16 mÂł kayu bulat dari Hutan Sipora
  • Sipirok, Tapanuli Selatan (Oktober 2025): 4 unit truk bermuatan 44,25 mÂł kayu

Modus yang terungkap meliputi: pemalsuan dokumen kepemilikan lahan, kayu dari kawasan hutan “dititipkan” di PHAT, pemalsuan Laporan Hasil Produksi (LHP), perluasan batas peta PHAT melampaui alas hak yang sah, dan penggunaan PHAT milik masyarakat sebagai “nama pinjam.”

Merespons temuan ini, Kemenhut menetapkan moratorium layanan Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPuHH) untuk tata usaha kayu di PHAT-APL.

Bab IV: Aktor dan Tanggung Jawab—Siapa yang Harus Menjawab?

Pemerintah Daerah: Ketidakmampuan yang Diakui

Setidaknya tiga bupati di Aceh secara resmi menyatakan ketidaksanggupan menangani bencana di wilayahnya. Kabupaten Aceh Selatan menerbitkan surat bernomor 360/1315/2025 yang ditandatangani Bupati Mirwan MS, menyatakan ketidaksanggupan menangani darurat banjir dan longsor yang melanda 11 kecamatan.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membenarkan: “Di Takengon, itu yang Aceh Tengah menyampaikan bahwa dia tidak mampu melayani, ya memang enggak akan mampu. Karena dia sendiri tertutup (akses tertutup).”

Pertanyaannya: mengapa pemerintah daerah tidak siap? Apakah karena kurangnya sumber daya, atau karena selama ini mereka membiarkan deforestasi terjadi di depan mata?

Kementerian Kehutanan: Pengawasan yang Terlambat

Meski Kemenhut telah menangani sejumlah kasus illegal logging sepanjang 2025, kenyataannya kayu-kayu tersebut tetap ditebang dan berhasil “dicuci” melalui sistem PHAT. Moratorium baru diberlakukan setelah bencana terjadi—terlambat untuk mencegah tragedi.

Data Auriga menunjukkan 59 persen deforestasi terjadi akibat konsesi yang diberikan pemerintah. Ini bukan lagi soal illegal logging semata, tetapi “legal deforestation”—penghancuran hutan yang difasilitasi oleh izin-izin resmi.

Korporasi Ekstraktif: Pelaku yang Tak Tersentuh

Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkap deforestasi selalu dipicu oleh korporasi yang dibekingi kebijakan pemerintah: bisnis perkebunan sawit, pertambangan, dan kehutanan.

Greenpeace Indonesia mencatat sejak 1990 hingga 2024, tutupan hutan alam Sumatera terus menyusut akibat alih fungsi menjadi perkebunan sawit, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman untuk produksi kayu. Konversi besar-besaran ini berlangsung pada hutan lahan kering sekunder dan hutan rawa—dua tipe ekosistem yang memiliki peran krusial sebagai area resapan dan penyimpan air di hulu DAS.

Namun, berapa banyak CEO perusahaan yang ditangkap? Berapa banyak izin konsesi yang dicabut? Data menunjukkan: hampir tidak ada.

Pemerintah Pusat: Kebijakan yang Kontradiktif

Yang paling mengkhawatirkan adalah pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang mengidentifikasi sekitar 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air. WALHI Sumut memandang pernyataan ini sebagai sinyal bahwa deforestasi dalam skala besar masih akan berlanjut—bertentangan dengan amanat konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Sistem Peringatan Dini: Yang Diabaikan

BPK menemukan masalah dalam informasi cuaca dan peringatan dini BMKG. DPR mendesak BMKG berbenah. Tapi apakah peringatan cuaca cukup, ketika hutan sudah tidak ada untuk menahan air?

Baca Juga  Lapisan tanah (2)

Pada 18 November 2025, Mendagri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 300.2.8/9333/SJ tentang Kesiapsiagaan Menghadapi Potensi Bencana Hidrometeorologi. Rapat koordinasi dilakukan pada 21 November. Bencana terjadi 24 November. Hanya tiga hari. Tapi kesiapsiagaan yang dimaksud adalah evakuasi dan tanggap darurat—bukan mencegah deforestasi yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Bab V: Dampak Multidimensi—Lebih dari Sekadar Korban Jiwa

Krisis Kemanusiaan

570.700 warga masih mengungsi dalam kondisi terbatas. Akses jalan terputus total di banyak lokasi. Distribusi logistik harus dilakukan via udara. Presiden Prabowo Subianto meninjau langsung lokasi, menjanjikan perbaikan infrastruktur, tetapi janji-janji ini sudah sering didengar setelah setiap bencana.

Kerugian Ekonomi

Jembatan hancur, jalan terputus, rumah rusak, lahan pertanian terendam, ternak mati. Angka kerugian ekonomi belum dihitung secara komprehensif, tapi dipastikan mencapai triliunan rupiah.

Krisis Lingkungan Jangka Panjang

Deforestasi tidak hanya memicu banjir, tetapi juga: mengganggu siklus air dan nutrisi, meningkatkan risiko krisis air bersih (Indonesia diperkirakan menghadapi krisis air pada 2040), penurunan kualitas tanah (tanaman sawit rakus air dan unsur hara), kehilangan habitat megafauna (Orangutan Tapanuli, Harimau Sumatera, Gajah Sumatera), dan peningkatan emisi karbon.

Trauma Kolektif

Bagaimana masyarakat yang kehilangan keluarga, rumah, dan mata pencaharian bisa bangkit? Trauma kolektif ini akan berdampak generasi.

Bab VI: Sains Berbicara—Mengapa Hutan Penting untuk Menahan Banjir

Hutan alam memiliki fungsi ekologis krusial yang tidak bisa digantikan oleh hutan tanaman atau perkebunan:

  1. Infiltrasi Air: Serasah daun, akar pohon, dan organisme tanah menciptakan pori-pori yang memungkinkan air meresap ke dalam tanah, bukan langsung mengalir ke sungai.
  2. Penyimpanan Air: Hutan bertindak sebagai spons raksasa, menyimpan air hujan dan melepaskannya secara bertahap.
  3. Stabilisasi Lereng: Akar pohon mengikat tanah di lereng bukit, mencegah longsor.
  4. Regulasi Aliran Sungai: Hutan mengatur aliran air sungai agar stabil sepanjang tahun—tidak banjir saat hujan, tidak kering saat kemarau.

Ketika hutan dikonversi menjadi perkebunan sawit atau area pertambangan, fungsi-fungsi ini hilang. Laporan deforestasi 2024 memperlihatkan lebih dari 90 persen terjadi pada hutan sekunder. Meski sebagian area kembali tercatat sebagai hutan melalui penanaman ulang, karakter hutan tanaman produksi tidak mampu menggantikan fungsi ekologis hutan alam—terutama dalam pengelolaan air dan pencegahan bencana hidrometeorologi.

Bab VII: Perubahan Iklim—Konteks Global yang Memperburuk

World Meteorological Organization melaporkan suhu rata-rata global antara 2025-2029 diperkirakan lebih tinggi 1,2-1,9°C dibandingkan periode 1850-1900. Ada kemungkinan 80 persen akan ada tahun yang lebih panas dari 2024—tahun terpanas dalam 175 tahun pengamatan.

Perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem. Tahun 2025, banjir juga menerjang provinsi Henan, Hubei, dan Guizhou di Tiongkok, serta Texas Tengah, Amerika Serikat. Di AS, kerugian jaminan asuransi meningkat 36 persen menjadi $112,7 miliar pada 2024, sebagian besar akibat banjir.

Indonesia, sebagai negara dengan deforestasi peringkat kedua dunia, berkontribusi pada perubahan iklim global sekaligus menjadi korbannya. Ironi yang tragis.

Bab VIII: Jalan Keluar—Apakah Masih Ada Harapan?

1. Penetapan Status Bencana Nasional

DPR mendesak penetapan status bencana nasional untuk memudahkan pengerahan anggaran, logistik, personel SAR, dan koordinasi antar-lembaga. Tapi ini hanya tanggap darurat—bukan solusi jangka panjang.

2. Moratorium Total Deforestasi

Diperlukan moratorium total pemberian izin konsesi baru di kawasan hutan alam yang tersisa. Kebijakan Menteri Kehutanan untuk membuka 20 juta hektare hutan harus dibatalkan.

Baca Juga  Fungsi larutan penyangga

3. Penegakan Hukum Tanpa Kompromi

Illegal logging dan pencucian kayu harus diproses hingga ke beneficial owner—penerima manfaat utama. Tidak hanya menangkap penebang lapangan, tapi juga CEO dan pemilik modal di belakangnya.

4. Pencabutan Izin Konsesi Bermasalah

Konsesi yang terbukti melakukan deforestasi di luar area izin atau melanggar ketentuan lingkungan harus dicabut tanpa ampun.

5. Restorasi Ekosistem Hulu DAS

Program rehabilitasi hutan dan lahan harus dipercepat, dengan fokus pada ekosistem hulu DAS yang kritis. Tapi ingat: restorasi membutuhkan puluhan tahun, sementara deforestasi bisa terjadi dalam hitungan bulan.

6. Perlindungan Hukum untuk Hutan Alam

Pemerintah perlu menerbitkan regulasi yang memberikan perlindungan hukum tegas kepada seluruh bentang hutan alam—bukan hanya hutan lindung, tapi juga hutan produksi yang masih memiliki tutupan alam.

7. Transparansi dan Partisipasi Publik

Data konsesi, izin, dan pelanggaran harus terbuka untuk publik. Masyarakat sipil harus dilibatkan dalam pengawasan.

8. Pembentukan Panitia Khusus DPR

PKB mengkaji pembentukan Pansus Pembalakan Liar untuk mengusut dugaan perusakan hutan. Ini langkah positif, asalkan tidak hanya menjadi pencitraan politik.

Epilog: Tagihan yang Harus Dibayar

Banjir Sumatera November 2025 adalah alarm keras yang memekakkan telinga. Tapi apakah kita akan mendengarkan?

Hatma Suryatmojo dari UGM menegaskan: “Tragedi akhir November 2025 ini hendaknya menjadi titik balik untuk bergerak menuju keseimbangan baru, di mana keselamatan masyarakat terlindungi dengan tetap menjaga kelestarian alam.”

WALHI Sumut memperingatkan: “Alarm deforestasi dan kemunduran demokrasi sudah terdengar jelas. Jika pemerintah tetap melanggengkan deforestasi, maka Presiden berpotensi melanggar konstitusi dan undang-undang.”

Data tidak berbohong. Sains tidak berpolitik. Hutan yang hilang adalah fakta. Korban jiwa adalah kenyataan. Kayu gelondongan yang terseret banjir adalah bukti.

Pertanyaannya bukan lagi: apakah kita tahu apa yang harus dilakukan? Tapi: apakah kita memiliki keberanian politik untuk melakukannya?

604 orang telah meninggal. 464 orang masih hilang. 1,5 juta jiwa terdampak.

Ini bukan sekadar bencana alam. Ini adalah pembunuhan massal oleh kelalaian sistemik.

Alam telah berbicara. Saatnya manusia menjawab—bukan dengan janji-janji kosong, tapi dengan tindakan nyata yang mengubah arah pembangunan dari eksploitasi menuju keseimbangan ekologis.

Atau kita tunggu bencana berikutnya, dengan korban yang lebih banyak lagi?


Sumber Data:

  • BNPB: Dashboard Penanganan Darurat Banjir dan Longsor Sumatera 2025
  • BMKG: Laporan Cuaca Ekstrem November 2025
  • Auriga Nusantara: Status Deforestasi Indonesia 2024
  • Global Forest Watch: Data Kehilangan Hutan 2002-2024
  • Kementerian Kehutanan: Data Penegakan Hukum 2025
  • WALHI Sumatera Utara & Sumatera Barat: Laporan Deforestasi
  • UGM: Penelitian Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS
  • World Meteorological Organization: State of Global Climate 2024
  • World Population Review: Deforestation Rankings

Artikel ini ditulis berdasarkan data faktual hingga 2 Desember 2025

unnamed Anatomi Bencana Sumatera: Ketika Hujan Ekstrem Bertemu Dosa Ekologis