Mengapa Perkebunan Sawit Merusak Alam? Ini 3 Fakta Penting tentang Deforestasi
Minyak Kelapa Sawit: Komoditas yang Menyimpan Sisi Gelap
Minyak kelapa sawit adalah komoditas nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Bahan ini dapat ditemukan dalam hampir separuh produk yang ada di supermarket. Namun, di balik manfaat ekonominya yang luas, industri sawit menyimpan sisi gelap berupa isu lingkungan yang kompleks. Salah satu sorotan utamanya adalah kaitannya yang tak terpisahkan dengan deforestasi hutan tropis secara masif.
Ekspansi perkebunan ini yang produktivitasnya melonjak sejak diperkenalkannya kumbang penyerbuk Elaeidobius kamerunicus pada tahun 1980-an hingga kini menjadi pendorong utama kerusakan lingkungan di Asia Tenggara.
Mengapa pohon sawit dianggap merusak lingkungan, padahal sama-sama tumbuhan? Berikut adalah tiga alasan utamanya:
1. Pemicu Utama Deforestasi di Asia Tenggara
Pohon kelapa sawit tumbuh paling optimal di wilayah khatulistiwa. Sayangnya, area ini juga merupakan rumah bagi hutan hujan alami. Demi memenuhi permintaan pasar, pembukaan lahan hutan (deforestasi) dilakukan secara besar-besaran untuk digantikan dengan tanaman sawit monokultur.
Kawasan Asia Tenggara, khususnya Pulau Kalimantan, mencatat tingkat kehilangan hutan terbesar akibat aktivitas ini.
- Malaysia: Sebuah studi menunjukkan bahwa antara tahun 1973 hingga 2015, sekitar 60 persen hutan hujan yang hilang telah dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit.
- Kalimantan: Sekitar 15 persen kehilangan hutan di wilayah ini terkait langsung dengan ekspansi lahan sawit.
Profesor Jane Hill dari York University, yang meneliti dampak aktivitas manusia terhadap hutan hujan, menjelaskan bahwa industri sawit sering kali menggantikan hutan yang sebelumnya sudah rusak akibat penebangan liar.
“Yang tersisa hanyalah mosaik petak-petak hutan di tengah lautan minyak sawit, urbanisasi, dan jalan raya,” ungkap Jane.
2. Pelepasan Emisi Karbon dari Lahan Gambut
Ekspansi sawit tidak hanya membabat pepohonan, tetapi juga merusak lahan rawa gambut. Secara alami, gambut berfungsi sebagai penyimpan karbon dalam jumlah raksasa.
Ketika lahan gambut dikeringkan (kanal) untuk kebutuhan perkebunan, karbon yang tersimpan di dalamnya akan terlepas ke atmosfer menjadi karbon dioksida (CO₂). Hal ini secara langsung memperburuk pemanasan global dan perubahan iklim.
Para ahli memperkirakan bahwa pengeringan lahan gambut di Indonesia dan Malaysia menyumbang sekitar 1 persen dari total emisi gas rumah kaca global. Angka ini sangat signifikan mengingat luas wilayah kedua negara ini relatif kecil dibandingkan total daratan bumi.
3. Ancaman Kepunahan Satwa Liar Ikonik
Konversi hutan menjadi perkebunan sawit menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati secara drastis. Berdasarkan penelitian, kekayaan spesies serangga anjlok hingga 40 persen di area perkebunan. Lebih parahnya lagi, kurang dari seperempat spesies vertebrata hutan hujan yang mampu bertahan hidup di lingkungan sawit.
Hewan-hewan ikonik Indonesia kini berada di ambang kepunahan akibat hilangnya habitat asli mereka, antara lain:
- Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus)
- Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)
- Gajah Borneo (Elephas maximus borneensis)
Selain kehilangan tempat tinggal dan sumber makanan, satwa-satwa ini juga kerap dianggap hama sehingga diburu atau dibunuh.
Dengan permintaan global yang terus meningkat, solusi untuk masalah ini tidaklah sederhana. Diperlukan kombinasi langkah diplomatik, kesadaran sosial, dan regulasi lingkungan yang ketat agar perlindungan hutan hujan, satwa liar, dan kebutuhan manusia dapat berjalan beriringan.
- 🌱 Patch AM: When Styx and Chicago will rock Ameris Bank Amphitheatre in 2026 - December 21, 2025
- Proyek Humana Kuatkan Laba Tahun 2025 Meski Menghadapi Tantangan Peringkat Bintang - December 21, 2025
- Program Sekolah Gratis Banten Masuk Finalis Anugerah RRI Awards 2025 - December 21, 2025




Leave a Reply