Bola basket dan perjalanan tumbuh: Dari rasa sakit ke semangat yang tak pernah padam
“Setiap cedera mengajarkan kesabaran, setiap tembakan yang meleset menumbuhkan ketenangan. Basket tidak sekadar olahraga, basket adalah proses untuk tumbuh, jatuh, dan bangkit kembali.”
Kalimat itu selalu terngiang di kepala setiap kali aku melihat Nawal berada di lapangan basket. Sore itu, langit Bandung tampak teduh dengan warna jingga yang perlahan turun di balik gedung dan pepohonan. Udara lembap khas kota ini berpadu dengan aroma karet bola yang bergulir di lantai beton lapangan outdoor. Suara sepatu berdecit, pantulan bola yang teratur, dan sesekali teriakan kecil penuh semangat menciptakan irama yang akrab di telinga. Sekilas, hari itu tampak seperti sore biasa. Namun, di balik rutinitas latihan yang terlihat sederhana, aku tahu ada perjalanan panjang tentang kedewasaan, keteguhan, dan semangat yang tidak pernah benar-benar padam dalam diri seseorang bernama Nawal Rahma Tsaniah.
Aku mengenal Nawal semenjak kita duduk di sekolah menengah atas (SMA). Di balik kesibukannya dengan tugas, praktikum dan kegiatannya, ada satu hal yang selalu konsisten ia jaga: cintanya pada basket. Sejak awal berteman dengannya, aku sering mendengar bagaimana basket menjadi bagian penting dalam perjalanan hidupnya. Sejak sekolah dasar ia sudah akrab dengan bola basket karena tumbuh di lingkungan keluarga yang juga menyukai olahraga ini. Dari kebiasaan sederhana melihat orang tuanya menikmati basket, ia sering bersentuhan dengan permainan tersebut sejak kecil. Dari sana, perlahan muncul rasa ingin tahu, lalu berubah menjadi ketertarikan yang tidak lagi dangkal.
Yang membuatku kagum, keputusan Nawal untuk menekuni basket bukan karena paksaan siapa pun. Orang tuanya berperan sebagai pintu masuk yang memperkenalkan basket, tetapi dorongan terbesarnya datang dari dirinya sendiri. Ia ingin bisa, ingin menguasai permainan ini, dan ingin merasakan kepuasan ketika tembakannya masuk ke dalam ring. Ada dorongan batin yang kuat, sesuatu yang membuat bertahan bahkan ketika kondisi fisiknya tidak selalu mendukung.
Bagi Nawal, basket bukan sekedar permainan pengisi waktu luang. Lapangan baginya adalah ruang bertumbuh: tempat dia menguji batas diri, melatih kedisiplinan, dan merasakan langsung bagaimana proses jatuh-bangun membentuk keteguhan. Setiap kali melihatnya menyentuh bola, aku seperti melihat potongan perjalanan panjang dari seorang anak kecil yang penasaran, hingga sosok kini menjadikan basket sebagai sebagian dari identitas dirinya.
Awal mula dan kecintaan pada basket
Nawal bercerita bahwa perkenalannya dengan basket dimulai sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Lingkungan keluarga yang menyukai olahraga ini membuatnya sering melihat pertandingan, baik secara langsung maupun melalui tayangan di televisi. Lalu orang tuanya mendaftarkan Nawal ke klub bola basket di Bandung. Di waktu itu wajar jika ia tertarik, ia mencoba memegang bola, memantulkannya, dan mengikuti gaya pemain yang ia lihat. Pada awalnya, semua tampak sederhana: sekadar ingin bisa menggiring bola tanpa jatuh, atau ingin merasakan sensasi memasukan bola ke dalam ring.
Seiring berjalannya waktu, rasa ingin tahu itu berkembang menjadi kecintaan. Nawal menyadari bahwa semakin sering ia berlatih, semakin besar keinginannya untuk menguasai teknik-teknik dasar. Ia merasakan kebanggaan kecil ketika dribble-nya semakin rapi atau ketika tembakannya mulai lebih akurat. Dari dukungan keluarga di awal, perjalanannya berlanjut menjadi dorongan dari dalam diri. Di titik itu, aku melihat Nawal bukan hanya sebagai seseorang yang hobi bermain basket, tetapi sebagai pribadi yang sungguh-sungguh menekuni sesuatu yang ia cintai.
Kini, meski jadwalnya padat, ia tetap berusaha menyisihkan waktu untuk turun ke lapangan. Bagi Nawal, basket menjadi cara untuk “bernapas” di tengah tekanan. Dari caranya bercerita tentang latihan dan pertandingan, saya tahu bahwa lapangan bukan sekadar tempat ia berkeringat, melainkan ruang untuk kembali mengingat apa yang membuatnya merasa hidup.
Rutinitas latihan dan disiplin
Rutinitas latihan Nawal, dari yang ia ceritakan, tidak kaku namun cukup intens. Frekuensi latihannya menyesuaikan kebutuhan dan agenda. Di hari-hari biasa, ia bisa berlatih beberapa kali dalam seminggu. Namun ketika ada persiapan pertandingan atau event olahraga, ia bisa turun ke lapangan hampir setiap hari. Ia lebih sering berlatih di lapangan indoor, yang menurutnya paling ideal karena tidak terpengaruh cuaca dan membuatnya bisa fokus pada permainan.
Aku membayangkan seberapa keras ia berlatih di sana: dribble bola berulang-ulang, melatih passing, dan mengulang shooting dari berbagai posisi. Bagi orang luar, gerakannya mungkin tampak biasa saja. Namun, bagiku yang mendengar ceritanya, setiap pengulangan itu adalah bagian dari komitmen besar pada dirinya sendiri. Di situlah kedisiplinannya di tempa: datang tepat waktu, melakukan pemanasan dengan serius, dan tetap bertahan meski tubuh lelah.
Baginya, basket melatih koordinasi tubuh dan pikiran. Saat menguasai bola, ia belajar tentang ritme dan kontrol. Saat menembak, ia belajar tentang fokus dan keyakinan. Dalam rutinitas latihan yang terus berulang, Nawal menyadari bahwa perkembangan tidak akan pernah datang secara instan. Semua dicapai melalui proses panjang yang menuntut konsistensi dan kesabaran. Pelajaran yang ia dapatkan di lapangan terasa sangat relevan dengan kehidupan di luar olahraga.
Cedera, rasa sakit, dan keteguhan
Perjalanan Nawal bersama basket tentu tidak selalu mulus. Ia berkali-kali menyebut bahwa di antara semua kendala, cedera adalah yang paling berat. Bukan fasilitas, bukan cuaca, bukan waktu, tetapi cedera. Ketika cedera datang, tubuh seolah memberi batas yang tidak bisa dinegosiasikan. Keinginan untuk bermain sebesar apa pun harus diimbangi dengan kesadaran bahwa memaksakan diri bisa berakibat lebih buruk.
Salah satu kisah yang paling membekas di kepalaku adalah ketika Nawal bercerita tentang pengalaman kita bertanding di sebuah Kejuaraan Olahraga Pelajar (KOPEL) antar SMA. Saat itu, ia mengalami cedera. Namun alih-alih mundur, ia memutuskan tetap turun ke lapangan. Setiap kali bermain, ia terjatuh lagi dan lagi lalu cedera lagi dan lagi. Rasa sakit datang berulang, tetapi ia tetap melanjutkan pertandingan. Secara fisik, situasi itu jelas berat. Namun dari cara ia bercerita, aku bisa merasakan bahwa momen itu justru menjadi salah satu pengalaman paling berkesan dalam hidupnya.
Ia merasa bersemangat, bahkan di tengah rasa sakit yang tidak nyaman. Bagi Nawal, pertandingan itu bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi tentang sejauh mana kesediaannya berjuang di tengah keterbatasan. Rasa sakit yang ia rasakan tidak memadamkan keinginan untuk bermain, melainkan justru memperlihatkan seberapa dalam kecintaannya pada basket. Dari sana aku memahami bahwa bagi Nawal, pertumbuhan tidak selalu terjadi momen yang nyaman. Sering kali, justru di titik paling sakit seseorang diuji keteguhannya.
Meski demikian, pengalaman cedera juga membuatnya belajar banyak. Ia menyadari bahwa tubuh memiliki batas, dan memaksa diri secara berlebihan itu bisa berdampak panjang. Di titik ini, ia memahami bahwa keteguhan bukan berarti selalu menolak berhenti, tetapi juga kemampuan untuk bijak mengukur kapan harus maju dan kapan harus beristirahat.
Kekalahan dan cara memaknai kegagalan
Dalam perjalanannya menekuni basket, Nawal tidak lepas dari kekalahan dan kegagalan. Ia tidak menutupi bahwa ada momen-momen yang terasa sangat berat. Namun yang menarik bagiku adalah cara ia memaknai kegagalan tersebut. Menurutnya yang paling berat bukan ketika timnya kalah dari lawan, melainkan ketika ia merasa “kurang pas” dalam menjalankan peran.
Kekecewaan terbesar muncul ketika ia merasa tidak bisa bermain secara maksimal, ketika performa nya jauh dari harapannya sendiri. Di situ, ia banyak merenung. Ia tidak hanya melihat skor terakhir, tetapi juga mengevaluasi setiap keputusan dan kontribusi selama pertandingan. Dari proses itu, ia belajar bahwa mengkritik diri sendiri adalah hal yang wajar selama tidak memadamkan keinginan untuk berkembang.
Kekalahan, pada akhirnya, ia menjadikan titik tolak untuk bangkit. Ia tidak menjadikannya alasan untuk berhenti, tetapi sebagai bahan bakar untuk berlatih lebih keras. Cara pandang seperti ini membuatku melihatnya sebagai sosok yang dewasa dalam menyikapi kegagalan: tidak menyangkal rasa kecewa, tetapi juga tidak tenggelam di dalamnya.
Latihan, pertandingan dan tekanan mental
Perbedaan antara suasana latihan dan pertandingan resmi ia soroti juga dalam ceritanya. Bagi Nawal, latihan adalah ruang yang relatif aman. Di sana, ia bisa salah, bisa mencoba teknik baru, dan bisa mengulang berkali-kali tanpa tekanan besar. Namun begitu memasuki pertandingan resmi, suasananya langsung berubah. Tekanan datang dari lawan, penonton, pelatih dan ekspektasi tim.
Ia menggambarkan pertandingan resmi sebagai sesuatu yang lebih rumit dan penuh tekanan. Di lapangan, pikirannya harus bekerja lebih cepat. Ia tidak hanya menggerakan tubuh, tetapi juga harus membaca pola permainan, memprediksi langkah lawan, dan mengambil keputusan dalam hitungan detik. Dari situ ia belajar bahwa menjadi pemain basket bukan hanya soal kekuatan fisik, tetapi juga soal ketenangan dan kecerdasan dalam mengelola emosi.
Bagi Nawal, pertandingan resmi adalah ujian nyata dari semua latihan yang telah ia jalani. Di sana terlihat seberapa jauh ia berkembang, bukan hanya secara teknis, tetapi juga secara mental.
Idola dan sumber inspirasi
Ada satu hal yang selalu membuat matanya berbinar saat bercerita: sosok idola. Nawal mengidolakan Yesaya Saudale, seorang pemain basket yang ia kagumi karena kemampuan shooting nya yang sangat baik. Ia menyukai bagaimana tembakan Yesaya tampak rapi dan efektif, serta bagaimana gaya bermainnya terlihat tenang namun bisa sewaktu-waktu lincah dan juga tajam.
Dari sosok ini, Nawal belajar bahwa kemahiran tidak pernah datang begitu saja. Di balik permainan yang tampak “mudah” di mata penonton, selalu ada jam-jam latihan panjang yang tidak terlihat. Hal itu ia jadikan motivasi untuk terus mengasah kemampuan, terutama dalam hal shooting yang sangat ia sukai. Bagi Nawal, idola bukan sekadar sosok yang dikagumi, tetapi juga cermin standar yang ingin ia kejar.
Bertumbuh bersama basket
Satu hal yang paling kuat yang terasa adalah bahwa Nawal tidak hanya bermain basket, ia benar-benar bertumbuh bersama basket. Dari awal mengenal olahraga ini di masa kecil, melalui dukungan keluarga, kemudian menjadikannya hobi serius, hingga kini menjadi bagian dari identitasnya sebagai individu aktif, basket yang selalu hadir di setiap fase penting hidupnya.
Melalui latihan, ia belajar disiplin dan konsistensi. Melalui cedera, ia belajar menghargai batas tubuh dan makna keteguhan. Melalui kekalahan, ia belajar mengevaluasi diri dan bangkit kembali. Melalui pertandingan resmi, ia belajar menghadapi tekanan. Melalui sosok idola, ia belajar tentang kerja keras dan kualitas permainan.
Sebagai teman yang menyimak perjalanannya, aku melihat bahwa basket baginya bukan sekadar olahraga yang dimainkan di lapangan kayu dengan ring bola. Basket adalah proses panjang yang membentuk cara ia memandang dirinya sendiri dan hidup. Di sana, ia diajarkan bahwa rasa sakit bisa menjadi guru, kegagalan bisa menjadi titik awal, dan semangat yang dijaga dengan sungguh-sungguh tidak akan mudah padam.
Dan setiap kali aku melihatnya kembali ke lapangan, meski pernah jatuh dan cedera, aku selalu merasa satu hal: selama bola masih bisa dipantulkan dan ring masih berdiri, semangat itu akan terus hidup di dalam dirinya, dalam setiap cerita yang ia bagi kepada orang-orang di sekitarnya, dan mungkin juga bagi siapa pun yang memilih untuk benar-benar mencintai apa yang ia tekuni.
- Labour to pay for graduates on benefits to do work experience - December 19, 2025
- Prospek Sektor Rumah Sakit Cerah di 2026, Ini Rekomendasi Sahamnya - December 19, 2025
- Apa yang Terjadi Ketika Anda Mencampur Magnesium Citrate Dengan Jus? - December 19, 2025




Leave a Reply