Satu Cerita yang Mengubah Saya Menjadi Guru

Masa Kecil yang Penuh Aroma Bawang Tumis

Aroma bawang tumis selalu membawa saya kembali pada satu masa. Masa ketika dapur kecil kami jadi pusat dunia. Mamah berdiri di depan wajan, sementara saya duduk di bangku plastik. Di meja, sepiring nasi, sayur sawi hijau (kami menyebutnya sosin) dicampur tahu dan tempe goreng sudah menunggu. Sesederhana itu. Namun dari sana masa depan saya diam-diam dibentuk.

Mamah selalu berkata, “Makan yang benar. Hidupmu butuh tenaga panjang.” Kalimat itu dulu terdengar seperti nasihat yang lewat begitu saja. Baru jauh kemudian saya mengerti: itu bukan sekadar ajakan makan sehat. Itu ramalan kecil. Ramalan tentang jalan hidup yang kelak saya tempuh.

Dapur Kecil yang Mengajari Saya Bertahan

Hidangan kami tidak mewah. Tapi mamah selalu memastikan ada sayur dan lauk yang cukup. Bahkan saat kondisi keuangan keluarga sedang ketat. “Yang penting kamu kuat sekolah,” katanya. Saya baru menyadari betapa seriusnya ucapan itu ketika dewasa. Apalagi setelah membaca data Kementerian Kesehatan yang menunjukkan bahwa sekitar 52% anak Indonesia masih kurang makan sayur dan buah. Angka itu membuat saya teringat masa kecil saya yang justru penuh sayur hijau di setiap piring.

Mamah mungkin tidak tahu soal data gizi. Tapi dia tahu cara menjaga anaknya tumbuh dengan baik. Dan itu membuat dapur kami punya Sepiring Cerita tersendiri. Cerita tentang keteguhan seorang ibu menghadapi hari, satu tumisan demi satu tumisan.

Masa Ketika Hidup Mulai Bergerak Lebih Cepat

Saat kuliah, saya sering makan serba praktis. Nasi padang, mi instan, dan makanan cepat saji jadi teman lama. Pada suatu titik, tubuh saya protes. Saya mudah lelah, sulit fokus, dan sering sakit kepala. Pada momen itulah suara mamah kembali muncul. “Kamu butuh tenaga panjang.” Tiba-tiba kalimat itu tidak terdengar seperti nasihat kuno. Ia berubah menjadi semacam peringatan halus yang datang dari masa kecil. Seolah mamah sedang mengingatkan: kamu pernah dijaga oleh sepiring makan yang lebih sehat dari ini.

Baca Juga  DeKalb County recovery group celebrates 7 years

Momen itu menampar saya pelan. Mungkin karena saya merindukan masa ketika hidup terasa sederhana. Mungkin juga karena saya tahu mamah benar.

Ketika Saya Menjadi Guru dan Melihat Kenyataan Baru

Saat bekerja sebagai guru, makna kalimat mamah makin jelas. Banyak murid yang datang ke sekolah tanpa sarapan. Ada yang bilang tidak sempat. Ada yang memang tidak ada makanan di rumah. Ada juga yang hanya minum teh manis sebelum berangkat. Akibatnya terasa. Anak yang tidak sarapan biasanya lebih cepat bosan, sulit fokus, atau mudah tersulut emosinya. Saya melihatnya hampir setiap hari.

Saya pernah berdiri di depan kelas sambil mengingat sepiring sosin plus tahu dan tempe goreng buatan mamah. Betapa besar bedanya sebuah menu sederhana terhadap konsentrasi dan ketahanan tubuh. Sebuah piring kecil ternyata bisa menentukan cara anak menangkap pelajaran.

Di titik itulah saya sadar: apa yang mamah lakukan dulu bukan hal sepele. Itu fondasi. Itu bagian dari pendidikan pertama yang saya terima sebelum sekolah mana pun.

Momen Emosional yang Mengubah Cara Saya Melihat Makanan

Suatu siang saya melihat seorang murid tertidur di meja. Ia mengaku belum makan apa pun sejak pagi. “Belum sempat makan, Bu…,” bisiknya lirih saat saya tanya. Hati saya sesak, lalu saya segera menaruh bekal yang selalu saya bawa di mejanya, sambil tersenyum dan membisikkan, “Ayo, makan dulu, ya.”

Di momen itu, ingatan tentang mamah, dapur kecil, dan aroma tumisan bawang kembali menyapa. Rasanya seperti menonton ulang masa kecil saya, lalu membandingkannya dengan anak-anak yang saya hadapi hari ini.

Saya paham sekarang: makanan bukan sekadar urusan kenyang. Makanan juga tentang martabat, perhatian, dan kesempatan. Makanan adalah bentuk kasih yang paling sunyi namun paling menentukan.

Baca Juga  Mensos Gus Ipul Kunjungi Sekolah Rakyat Jombang, Janjikan Laptop untuk Siswa dan Guru

Dan akhirnya benar saja, cita-cita saya tercapai: saya menjadi guru. Profesi ini membuat saya melihat lebih dekat makna setiap nasihat mamah yang dulu saya anggap remeh.

Sepiring Cerita yang Saya Wariskan Kembali

Kini, setiap kali memasak tumis sosin atau menggoreng tahu dan tempe untuk keluarga saya, ada rasa hangat yang mengalir. Seolah saya sedang meneruskan potongan kecil dari perjalanan mamah. Sepotong nilai. Sepotong perhatian. Sepotong cerita yang menguatkan saya sejak kecil hingga menjadi diri saya hari ini.

Saya akhirnya mengerti kenapa mamah selalu mengulang kalimat itu. Bukan hanya agar saya makan, tapi agar saya bertahan, agar saya tumbuh, agar saya kuat untuk mengejar masa depan termasuk menjadi guru.

Setiap keluarga punya Sepiring Cerita sendiri. Cerita yang kadang sederhana, tapi mampu membentuk arah hidup anaknya. Sepiring cerita itulah yang membesarkan saya, dan makanan masa kecil saya terus membentuk siapa saya hari ini.

unnamed Satu Cerita yang Mengubah Saya Menjadi Guru