Pandangan: Ijazah, Kejujuran, dan Kebenaran
Refleksi atas Polemik Ijazah Jokowi–Gibran
Pengamat, Konsultan dan Praktisi Pendidikan
Bisakimia
Dalam beberapa bulan terakhir, isu soal keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan putranya, Gibran Rakabuming Raka, mengemuka di ruang publik. Tuduhan ini berasal dari sejumlah aktivis, pakar telematika, dan inisiatif litigasi yang menuntut penyelidikan ulang. Di sisi lain, institusi terkait — termasuk lembaga penegak hukum dan universitas yang disebut — memberikan klarifikasi dan menyatakan hasil pemeriksaan yang bertolak belakang dengan narasi tuduhan.
Dalam pandangan filsafat pendidikan, fenomena ini bukan semata perkara administratif — tetapi cermin dari krisis makna pendidikan dan kebenaran itu sendiri.
Ijazah sebagai Simbol, bukan Tujuan
Dalam konteks pendidikan, ijazah sejatinya hanyalah simbol — tanda bahwa seseorang telah menempuh suatu proses pembelajaran dan diakui kompetensinya. Namun, dalam masyarakat modern yang sangat mengandalkan dokumen formal, simbol itu berubah menjadi pusat legitimasi sosial. Seperti kata filsuf Prancis, Jean Baudrillard, masyarakat kita hidup dalam dekapan “simulacra” — dunia, di mana tanda menggantikan realitas. Ijazah menjadi lebih penting daripada proses belajar itu sendiri. Kita percaya pada kertas, bukan pada pengetahuan.
Polemik ijazah Jokowi–Gibran menunjukkan bagaimana nilai simbolik sebuah dokumen dapat melampaui nilai esensial pendidikan. Pertanyaan publik tentang keaslian ijazah — meskipun sebagian sudah dijawab secara hukum — menyingkap kegelisahan yang lebih dalam: apakah pendidikan masih kita anggap sebagai proses pembentukan manusia, atau sekadar jalan untuk memperoleh legitimasi kekuasaan?
Krisis Kepercayaan sebagai Gejala Pendidikan yang Gagal
Ketika masyarakat mencurigai keaslian ijazah seseorang yang telah menempuh pendidikan tinggi dan bahkan menjadi presiden, itu menandakan adanya krisis kepercayaan terhadap institusi pendidikan. Universitas, sekolah, dan lembaga sertifikasi yang seharusnya menjadi benteng integritas justru ikut terseret dalam pusaran keraguan. Hal ini memperlihatkan bahwa dunia pendidikan kita belum sepenuhnya berhasil membangun etos transparansi dan akuntabilitas.
Paulo Freire pernah menulis bahwa pendidikan sejati adalah “praktik pembebasan” — membebaskan manusia dari kebodohan, manipulasi, dan ketidakjujuran. Tapi dalam praktiknya, pendidikan kita sering kali justru menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan sumber kebenaran. Ijazah palsu, plagiarisme akademik, atau jual beli gelar bukanlah fenomena baru di Indonesia; yang baru adalah ketika hal itu menyentuh lingkar kekuasaan tertinggi, kita tiba-tiba menyadari betapa rapuhnya kepercayaan kita terhadap lembaga pendidikan.
Teknologi, Forensik, dan Pencarian Kebenaran
Penyelidikan forensik terhadap ijazah menjadi menarik dari sudut pandang Heideggerian: teknologi, dalam pandangan Martin Heidegger, bukan sekadar alat, melainkan cara manusia “menyingkap” kebenaran. Namun, dalam kasus ini, teknologi justru memperumit pencarian kebenaran — file digital, foto, metadata, semua bisa dipalsukan atau dimanipulasi. Heidegger menyebut keadaan ini sebagai Gestell — kerangka pandang teknologis yang membuat manusia memandang segalanya sebagai objek yang harus dikendalikan dan diatur.
Kebenaran tidak lagi dicari melalui pemahaman, melainkan melalui bukti teknis yang dapat diverifikasi mesin. Akibatnya, kebenaran menjadi sesuatu yang rapuh dan bergantung pada siapa yang memiliki akses ke alat dan data. Dalam konteks ini, pemeriksaan forensik atas ijazah — meskipun penting — tidak bisa menggantikan dimensi etis dan filosofis dari pendidikan: kejujuran, tanggung jawab, dan integritas. Tanpa nilai-nilai itu, bahkan ijazah paling autentik sekalipun kehilangan makna.
Pendidikan sebagai Ruang Etika Publik
Kita bisa melihat polemik ini sebagai peluang untuk memulihkan makna pendidikan sebagai ruang etika publik. Pendidikan tidak boleh berhenti pada pengajaran kompetensi teknis, tetapi harus menumbuhkan kesadaran moral tentang kejujuran dan tanggung jawab sosial. Kasus ini mengingatkan bahwa ijazah yang sah secara administratif belum tentu menjamin keaslian moral seseorang. Sebaliknya, seseorang yang benar-benar belajar dan bekerja keras bisa saja tidak memiliki dokumen sempurna, tetapi tetap memiliki kebenaran dalam tindakan.
Pendidikan, jika dipahami secara Heideggerian, bukan hanya tentang “mengetahui”, melainkan tentang “mengada dengan sadar”. Ia adalah proses menjadi manusia yang otentik — bukan sekadar pemegang dokumen yang sah, tetapi pribadi yang bertanggung jawab terhadap pengetahuan yang dimilikinya.
Penutup: dari Dokumen Menuju Kejujuran
Polemik ijazah Jokowi–Gibran pada akhirnya mengajarkan kita sesuatu yang lebih penting daripada soal asli atau palsu. Ia menunjukkan bahwa kejujuran dalam dunia pendidikan adalah fondasi kepercayaan sosial. Ketika masyarakat mulai meragukan dokumen, yang sebenarnya hilang bukan hanya selembar kertas, tetapi makna pendidikan itu sendiri. Barangkali sudah saatnya kita berhenti menuhankan ijazah, dan mulai kembali menilai manusia dari proses belajar dan laku hidupnya. Sebab seperti dikatakan Socrates, “Pendidikan bukanlah mengisi bejana, melainkan menyalakan api.” Dan api itu — kejujuran, kesungguhan, dan cinta akan kebenaran — tidak bisa dipalsukan.
- PGRI dan Perhimpunan Pendidik Minta RUU Sisdiknas Segera Diumumkan - October 27, 2025
- Waspadai DBD, 541 Kasus di Tangsel Hingga Awal Oktober - October 27, 2025
- Chico Unified Hosts Parent Info Session for TK and Kindergarten Families - October 27, 2025



Leave a Reply