Nuklir di Tengah Perubahan Energi Indonesia
Perkembangan Kebijakan Energi Nasional dan Peran Nuklir
Setelah pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), arah kebijakan pemanfaatan nuklir sebagai salah satu sumber bauran energi nasional semakin jelas dan terang. Pemerintah tidak lagi ragu-ragu untuk menyebut nuklir sebagai energi baru, yang berarti nuklir dipandang sebagai sumber energi dengan potensi yang sama dengan sumber energi baru dan terbarukan lainnya.
Sebelum adanya KEN dan sejumlah regulasi yang terbit setahun terakhir, nuklir masih dilabeli sebagai “pilihan terakhir”, sehingga pemanfaatannya belum didukung sepenuhnya. Label itu kini telah tiada dan era nuklir telah memasuki tahap yang baru di Indonesia.
Berdasarkan ketentuan dalam KEN, diketahui bahwa pemerintah memiliki target yang strategis sekaligus ambisius. Pasal 12 poin 8 KEN menyebutkan bahwa porsi nuklir dalam bauran energi primer pada tahun 2032 ditetapkan sebesar 0,4 persen sampai dengan 0,5 persen. Sementara pada tahun 2040 porsinya akan bertambah antara 2,8 persen sampai dengan 3,4 persen. Pada 2050 porsi energi nuklir kembali meningkat antara 6,8 persen sampai dengan 7,0 persen. Lalu, pada 2060 porsinya melonjak antara 11,7 persen sampai dengan 12,1 persen dari total bauran energi primer.
Pada kalkulasi tersebut, kapasitas energi nuklir akan mencapai 35 GW pada tahun 2060. Berdasarkan rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk pembangunan-pengoperasian pada teknologi PLTN tersedia saat ini, dengan asumsi reaktor land-based yang mampu menghasilkan antara 500 MW – 2 GW, maka pada 2060 Indonesia akan memiliki sekitar 30 – 50 PLTN. Jumlahnya bisa jauh lebih banyak jika Indonesia menggunakan teknologi small modular reactor (SMR) yang memiliki daya sekitar 300 MW. Pilihan teknologi tersebut akan menentukan banyaknya jumlah PLTN yang akan dibangun untuk memenuhi target tersebut.
Pentingnya Target Pemanfaatan Nuklir dalam Bauran Energi
Transisi Energi dan Net Zero Emission
Negara-negara di dunia telah menyepakati komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dengan apa yang disebut sebagai Net Zero Emission (NZE) 2060 pada Paris Agreement 2015. Indonesia adalah salah satu negara yang turut di dalamnya. Pemerintahan Prabowo, saat ini berkomitmen untuk mendorong pencapaian NZE, sebagaimana disampaikan Presiden Prabowo dalam pidato di General Assembly Hall, New York pada 24 September lalu.
NZE mengharuskan pemerintah untuk memulai transisi energi dari yang berbasis fosil ke EBT. Sebab, data bauran energi Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan bahwa bauran energi fosil masih sangat mendominasi hingga diatas 80 persen, dan hanya 14 persen yang berasal dari energi EBT. Padahal di tahun yang sama, pemerintah menargetkan pencapaian EBT hingga 19,49 persen. Realisasi EBT yang lambat ini, salah satunya, mendorong pemerintah untuk dapat memiliki sumber energi dengan stabilitas tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai baseload. Pilihan itu sangat cocok dengan PLTN.
Tuntutan untuk memenuhi NZE tidak semata-mata sebagai wujud pemenuhan komitmen Indonesia sebagai bagian masyarakat global, tetapi upaya memerangi pemanasan global, perubahan iklim, dan memastikan keberlanjutan hidup generasi masa depan. Berbeda dengan fosil, nuklir memiliki keunggulan penting dengan tidak menghasilkan karbon, sehingga termasuk sebagai energi bersih yang tidak berkontribusi meningkatkan emisi gas rumah kaca. Pembangunan PLTN adalah bagian tidak terpisahkan dari upaya mencapai NZE di Indonesia.
Energi Baseload Pengganti Batu Bara
Dalam RUPTL 2025-2034, dapat diketahui PT PLN (Persero) tidak akan menggunakan skenario pensiun dini atau cold phase out terhadap PLTU, melainkan akan menggunakan skenario penurunan bertahap atau coal phase down. Skenario ini berarti bahwa PLTU yang merupakan tulang punggung energi nasional saat ini tidak akan dipensiunkan secara langsung dan dalam jumlah besar, melainkan diturunkan kapasitasnya untuk diganti dengan pembangkit EBT.
Kendati akan menyebabkan perlambatan transisi, namun skenario ini adalah yang paling realistis untuk saat ini. Untuk menggantikan peran PLTU, dibutuhkan sumber energi yang juga memiliki karakter yang sama, yakni baseload atau energi beban dasar. Penting dicatat, bahwa energi secara umum dibagi menjadi baseload dan peak-load. Baseload adalah sumber energi utama yang memiliki ciri stabil, mampu berdaya besar, tidak bergantung pada cuaca dan iklim, dan mampu menyokong kebutuhan dalam skala besar. PLTU, PLTN, dan PLTA skala besar masuk dalam kategori ini. Sementara peak-load atau beban-puncak adalah pembangkit yang berfungsi untuk mengantisipasi lonjakan permintaan pada waktu-waktu tertentu dan mendukung baseload. PLTS dan PLTB masuk dalam kategori ini.
PLTU adalah baseload yang sangat andal, dengan tingkat kestabilan yang tinggi dan mampu dibangun untuk menghasilkan daya besar tanpa bergantung pada perluasan lahan pembangkit dan cuaca-iklim. Namun, PLTU menghasilkan emisi dalam jumlah besar dan limbah tidak terkelola yang juga sangat tinggi. PLTS dan PLTB yang intermitten (bergantung cuaca dan iklim serta luas lahan), tentu tidak dapat diandalkan sebagai base load, namun dapat ditempatkan sebagai peak-load untuk membantu pemenuhan listrik.
Sebagai penggantinya, dapat digunakan PLTA pada daerah yang memiliki sumber air dengan aliran mendukung, dan dengan PLTN di daerah lainnya yang aman dari potensi gejala seismik. Seperti halnya PLTU, PLTN memiliki tingkat kestabilan yang tinggi, berdaya besar dan menggunakan lahan yang sedikit. Disisi lain, PLTN juga bersih, tidak menghasilkan emisi dan tidak bergantung pada cuaca-iklim. Saat peran PLTU telah semakin dikurangi dengan penurunan bertahap, PLTN dapat diandalkan sebagai pengganti yang sepadan, bahkan lebih baik. Dengan skenario tersebut, kebutuhan listrik akan tetap tercukupi selama transisi berlangsung, dan kehidupan ekonomi-sosial masyarakat serta industri tetap berjalan tanpa hambatan.
Era PLTN Dunia dan Ketertinggalan Indonesia
Kendati dikenalkan sebagai “energi baru” di Indonesia, PLTN sebenarnya adalah jenis pembangkit yang telah eksis sejak awal industrialisasi dunia modern pada 1950-an. Energi nuklir saat ini menyumbang 9 persen dari total kapasitas listrik secara global, dengan 440 reaktor yang aktif beroperasi di seluruh dunia. Saat ini, lebih dari 50 negara telah mengoperasikan reaktor riset, selain PLTN, sebanyak 220 reaktor, dan tiga diantaranya ada di Indonesia, yakni Reaktor Serba Guna GA. Siwabessy di Serpong, reaktor TRIGA 2000 Bandung di Bandung, dan reaktor Kartini di Yogyakarta.
Dunia telah mengenal reaktor komersial sejak 1960an. Teknologi PLTN yang dikembangkan pada era tersebut menjadi tulang punggung kemajuan industri di negara masing-masing. Prancis menikmati persentase terbesar dari energi nuklir dengan 70 persen energinya dihasilkan oleh PLTN, sementara Amerika Serikat adalah pengguna dengan kapasitas terbesar yang mencapai 772.2 TWh. Saat ini, dunia berlomba untuk meningkatkan kapasitas energi nuklir. Pada COP 28 di Dubai 2023 lalu, lebih dari 20 negara pengguna PLTN mendeklarasikan komitmen Triple Nuclear Energy, untuk meningkatkan penggunaan nuklir tiga kali lipat pada 2050. Pada COP29 di Ajerbaijan, sebanyak 6 negara lain turut bergabung. Nuklir akan ditingkatkan kapasitasnya karena terbukti merupakan energi yang aman, andal, dan dapat mendukung pencapaian nol emisi karbon.
Negara-negara di Asia saat ini semakin kuat mendorong pemanfaatan nuklir. Pada 2025, India sedang membangun PLTN Rajashtan 7 dengan daya 630 MW yang ditargetkan selesai tahun ini, sementara Tiongkok sedang membangun 4 PLTN baru, dan Korea Selatan 1 PLTN. Indonesia merupakan satu-satunya dari lima negara berpopulasi terbesar: India, Tiongkok, Amerika Serikat, dan Brazil, yang belum mengoperasikan PLTN.
Progres Indonesia dalam pembangunan PLTN tertinggal dari negara-negara tersebut, meski Indonesia adalah salah satu negara yang paling awal menargetkan rencana pembangunan PLTN sejak era Soekarno, dan telah mendirikan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN – sekarang BRIN) pada 1958. 67 tahun lalu. Kendati demikian, Indonesia tidak harus pesimis dalam proyeksi pemanfaatan energi nuklir, sebaliknya harus kembali dan terus optimis dalam menyusun rencana strategis dan target yang dapat dicapai dalam waktu dekat.
Indonesia perlu segera mewujudkan pembangunan PLTN pertama, yang ditargetkan beroperasi pada tahun 2032 di Bangka Belitung, dan menjadi milestone menuju pembangunan PLTN untuk mencapai transisi energi dan NZE 2060 mendatang.
- Duta besar Ethiopia memperoleh gelar doktor kehormatanPublished pada: 2 Oktober 2025 1:39 AM - October 23, 2025
- Time running out for Congress to extend ACA subsidies - October 23, 2025
- Tumbuhkan Ekosistem Biru, PIS Tanam 525 Fragmen Terumbu Karang di Maluku - October 23, 2025
Leave a Reply