Cerdas Menurut Nabi Muhammad, Prof Sholihan: Bukan Hanya yang Berilmu Tinggi
Kecerdasan yang Benar Menurut Islam
Dalam kehidupan modern yang penuh hiruk pikuk, banyak orang mengukur kecerdasan dari gelar akademik, karier mentereng, atau keberhasilan finansial. Namun, dalam kajian tematik yang disampaikan Prof Sholihan, Guru Besar UIN Walisongo Semarang, Rasulullah SAW memberikan ukuran kecerdasan yang jauh lebih dalam:
“Orang yang cerdas adalah mereka yang banyak mengingat kematian dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati.”
Hadis ini mengubah perspektif kita secara total. Kecerdasan sejati bukan terletak pada IQ tinggi atau inovasi teknologi, melainkan pada kesadaran spiritual — kemampuan untuk melihat kehidupan dunia sebagai ladang amal menuju akhirat.
Refleksi di Era Digital: Antara AI dan Amal
Di tengah derasnya kemajuan teknologi — dari kecerdasan buatan (AI), mobil listrik, hingga gadget super cepat — manusia kerap terlena oleh pencapaian material. Padahal, seperti disampaikan Prof. Sholihan, semua kemajuan itu tak bernilai bila tidak disertai tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).
Rasulullah menuntun umat agar tetap mengingat tujuan akhir kehidupan. Kecanggihan teknologi seharusnya menjadi sarana memperkuat keimanan dan memperluas manfaat, bukan menjauhkan diri dari Sang Pencipta.
Empat Langkah Orang Cerdas Menurut Islam
Prof Sholihan menjelaskan, ciri orang yang benar-benar cerdas menurut Islam bisa dilihat dari empat hal berikut:
- Banyak mengingat kematian, bukan dengan rasa takut, tapi dengan kesiapan.
- Beramal saleh dengan istiqamah, meski sederhana, tapi konsisten.
- Menjauhi maksiat, terutama yang merusak hati seperti iri, sombong, dan lalai.
- Bersyukur dalam nikmat dan bersabar dalam ujian, tanda hati yang tenang dan matang secara spiritual.
Cerdas Spiritual: Fondasi Hidup Modern
Dalam konteks kekinian, cerdas spiritual berarti mampu menempatkan teknologi, kekayaan, dan jabatan pada proporsi yang benar. Mobil listrik, laptop canggih, hingga kecerdasan buatan hanyalah alat bantu kehidupan — bukan tujuan utama.
Prof. Sholihan menegaskan, “Orang cerdas bukan yang bisa membuat robot, tetapi yang mampu mengendalikan hawa nafsunya.”
Menjadi orang cerdas bukan berarti meninggalkan dunia, tapi menjadikannya jalan menuju akhirat. Seorang insinyur, pengusaha, atau bahkan pengendara ojek daring tetap bisa menjadi orang cerdas bila ia menata hidup dengan niat lillahi ta’ala.
Membangun Kehidupan yang Berlandaskan Iman
Kecerdasan spiritual juga mencakup kemampuan untuk mengatur waktu dan prioritas dalam hidup. Dengan kesadaran bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, seseorang akan lebih bijak dalam memilih aktivitas yang bermanfaat dan berdampak positif bagi diri sendiri maupun orang lain.
Selain itu, kecerdasan spiritual juga melibatkan kemampuan untuk menghadapi tantangan hidup dengan ketenangan dan keyakinan. Tidak mudah terpengaruh oleh tekanan sosial, materi, atau godaan dunia yang sering kali mengaburkan tujuan hidup.
Menjadi Teladan di Dunia yang Serba Cepat
Di era di mana informasi dan teknologi berkembang pesat, penting bagi setiap individu untuk tetap menjaga keseimbangan antara perkembangan dunia nyata dan spiritual. Dengan memahami bahwa segala sesuatu yang diperoleh di dunia harus diiringi dengan persiapan untuk kehidupan akhirat, seseorang dapat menjadi teladan bagi lingkungan sekitarnya.
Mari renungkan kembali makna kecerdasan sejati: bukan seberapa banyak kita tahu, tapi seberapa siap kita pulang.
- Mengungkap Keterlibatan Siswa Laki-Laki di OSIS: Stereotip vs. Realitas - October 20, 2025
- Demam Lassa membunuh 166 orang dalam sembilan bulan - October 20, 2025
- Kobar Putra Gianyar Gede Aris Siap Lawan Bali United - October 20, 2025
Leave a Reply