Sekolah Tanpa Tembok dan Papan Tulis: Cerita dari SuarAsaESA #7
Ruang Pendidikan yang Tidak Terbatas
Di Bulukumba, pada hari Selasa, 12 Oktober 2025, langit mulai gelap dengan semburat jingga yang perlahan menghilang. Di tengah sinyal internet yang kadang terputus, wajah-wajah dari dua kota berbeda bertemu dalam satu ruang kecil bernama live Instagram. Di sanalah Sekolah Anak Desa (SaESA) kembali membuka jendela percakapan; kali ini bersama Indah Widia Sari, fasilitator dari Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta.
Topik yang mereka bahas terdengar sederhana, tapi sesungguhnya menyentuh akar terdalam dari dunia pendidikan: sebab sekolah tidak sekaku itu.
Ruang yang Hidup, Bukan Sekadar Gedung
Selama ini, banyak dari kita tumbuh dengan bayangan sekolah sebagai ruang berdinding tebal—kursi tersusun rapi, papan tulis yang menatap murid tanpa ekspresi, dan jadwal belajar yang kaku. Sebuah sistem yang tertib, tapi sering kali kehilangan denyut manusiawinya.
Namun di SALAM, paradigma itu mencair. Sekolah di sana bukanlah gedung; ia adalah ekosistem. Sebuah ruang tempat anak, fasilitator, dan lingkungan belajar saling mendengar dan tumbuh bersama di bawah satu payung yang mereka sebut Warga SALAM.
Melalui live yang dimulai pukul 17.00 WITA itu, SuarAsaESA seolah menjelma jadi ruang kelas digital. Bukan kelas dengan papan tulis dan penghapus, tapi dengan percakapan, tawa, dan jeda di antara suara yang kadang terputus oleh sinyal.
“Sekolah Itu Ruang Dialog”
“Sekolah itu ruang dialog,” ujar Indah Widia Sari, suaranya tenang tapi menggetarkan. Kata-kata itu seperti membuka tirai panjang di kepala banyak orang—tentang betapa selama ini pendidikan kerap disempitkan oleh dinding, padahal sejatinya ia harus bernafas.
Percakapan sore itu mengalir seperti sungai kecil: bening, jujur, dan penuh pertanyaan. Apakah sekolah masih bisa disebut sekolah jika tak punya bangunan megah? Apakah kecerdasan hanya tumbuh dari sistem yang seragam? Dan apa sebenarnya yang membuat sekolah menjadi kaku?
Belajar dari SALAM
Dari pengalamannya di Sanggar Anak Alam, Indah bercerita bahwa pendidikan bukanlah proses mencetak, melainkan menemani. “Ketika kita menemani, kita tahu potensi anak tanpa harus memaksakan mereka,” katanya pelan.
Bagi Indah, pendidikan yang baik lahir dari kasih dan kepekaan. Ia menekankan, bahwa kebersamaan—bukan perintah—adalah inti dari belajar. Pendidikan yang sejati, katanya, mengalir seperti air: menyesuaikan bentuk wadahnya tanpa kehilangan arah. Di sanalah kemerdekaan tumbuh, bersama rasa percaya dan kesadaran.
Sekolah Bisa Ada di Mana Saja
Menjelang pukul 18.00 WITA, sesi itu ditutup oleh Sakkir, perwakilan dari SaESA, dengan kalimat yang menancap di hati: “Pendidikan bisa merdeka dengan kekeluargaan. Semoga kita bisa meluaskan kesadaran terhadap sekolah, sebab kuncinya hanya satu — sadar.”
Suaranya mereda, tapi maknanya masih menggantung lama di udara Bulukumba yang mulai gelap. Malam turun, tapi percakapan itu menyala — menjadi cahaya kecil bagi mereka yang percaya bahwa sekolah bukan soal bangunan, melainkan hubungan.
Sore itu, SuarAsaESA bukan sekadar diskusi daring. Ia menjadi perayaan kecil tentang kemanusiaan dalam pendidikan. Sebuah pengingat, bahwa sekolah bisa hadir di mana saja: di halaman rumah, di dapur, di kebun, bahkan di ruang virtual.
Dan mungkin, di sanalah letak sekolah yang sejati tempat manusia belajar menjadi manusia.
- 5 Hewan Tahan Panas Ekstrem - November 8, 2025
- Dio, Anak Pertama Andre Taulany, Akan Kuliah ke London, Beri Pesan Mengharukan untuk Ayah dan Adik - November 8, 2025
- Siswa Texas menjelajahi STEM di laboratorium mobile yang membawa pembelajaran ke halaman sekolah - November 8, 2025



Leave a Reply