Bukan Bakteri, Ini Zat Kimia Penyebab Keracunan 1.315 Siswa di Bandung Barat

Penyebab Keracunan Massal di Program Makan Bergizi Gratis

Kasus keracunan massal yang menimpa ribuan penerima manfaat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Bandung Barat akhirnya menemukan titik terang. Tim Investigasi Independen Badan Gizi Nasional (BGN) memastikan bahwa zat kimia bernama nitrit menjadi faktor utama yang menyebabkan 1.315 orang mengalami gangguan kesehatan usai menyantap makanan dalam program tersebut.

“Setelah melakukan rangkaian uji laboratorium dan meneliti sampel makanan, kami menemukan kadar nitrit dalam jumlah sangat tinggi, terutama pada buah melon serta lotek yang disajikan di sekolah,” ungkap Ketua Tim Investigasi Independen BGN, Karimah Muhammad.

Apa Itu Nitrit?

Nitrit pada dasarnya merupakan senyawa yang memang dapat ditemukan secara alami di tanah maupun di dalam sejumlah makanan. Dalam jumlah tertentu, senyawa ini berperan mendukung kelancaran peredaran darah di tubuh manusia.

Namun, ketika masuk ke tubuh dalam kadar berlebihan, nitrit bisa berubah menjadi zat berbahaya. Salah satunya berpotensi menjadi senyawa karsinogenik atau pemicu kanker.

Lebih jauh, nitrit berlebih dapat mengganggu fungsi darah dengan cara mengubah hemoglobin menjadi methemoglobin. Kondisi ini membuat darah tidak mampu mengikat oksigen secara optimal. Akibatnya, tubuh mengalami kekurangan pasokan oksigen yang memicu berbagai gejala, mulai dari rasa lemas, pusing, hingga sesak napas.

Hasil Uji Laboratorium

Dalam penyelidikan, BGN bekerja sama dengan Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat untuk menganalisis sampel makanan dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) serta sisa hidangan di sekolah. Dari hasil pengujian, terdeteksi kandungan nitrit sebesar 3,91 mg/L pada sampel SPPG dan 3,54 mg/L pada sisa makanan di sekolah.

Sebagai perbandingan, standar keamanan yang ditetapkan Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) menyatakan bahwa kadar nitrit yang masih aman dalam minuman tidak boleh lebih dari 1 mg/L. Sementara otoritas kesehatan Kanada memberi batas maksimum pada angka 3 mg/L.

“Bila kita merujuk standar EPA, kadar nitrit dalam sampel makanan ini sudah hampir empat kali lipat lebih tinggi dari ambang batas aman. Bahkan bila memakai acuan Kanada pun, kadar tersebut tetap melewati batas toleransi,” jelas Karimah.

Baca Juga  Dekonstruksi Kimiawi Bau: Dari Molekul hingga Solusi Ilmiah

Tim investigasi juga meneliti pola gejala yang dilaporkan ratusan korban. Hampir seluruhnya memperlihatkan tanda-tanda khas keracunan nitrit, bukan akibat paparan bakteri berbahaya. Beberapa gejala umum yang dikeluhkan antara lain pusing, tubuh terasa lemas, serta sesak napas akibat dampak dari methemoglobinemia, yaitu kondisi saat hemoglobin tidak mampu mengangkut oksigen dengan baik.

Dalam proses investigasi, tim juga memastikan bahwa hasil uji toksikologi tidak menemukan keberadaan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, ataupun Bacillus cereus. Begitu pula dengan racun lain seperti sianida, arsen, pestisida, maupun logam berat. Hanya nitrit yang teridentifikasi dalam kadar mencurigakan tinggi.

Variasi Dampak Berdasarkan Kondisi Tubuh

Karimah menambahkan, dampak keracunan nitrit bisa berbeda pada setiap individu. Anak-anak atau orang dengan sistem kekebalan tubuh kuat umumnya lebih cepat memulihkan diri karena tubuh mereka mampu mendetoksifikasi zat tersebut dengan lebih efisien.

Sebaliknya, mereka yang memiliki kondisi kesehatan rentan bisa mengalami gejala lebih parah. “Bagi yang pertahanan tubuhnya baik, nitrit bisa segera diproses melalui metabolisme lalu dikeluarkan dari tubuh. Tapi bagi yang tidak, dampaknya bisa lebih berat dan butuh penanganan medis,” tutup Karimah.

unnamed Bukan Bakteri, Ini Zat Kimia Penyebab Keracunan 1.315 Siswa di Bandung Barat

Leave a Reply