Bumi Datar atau Bulat? Sains Sudah Menjawab, tapi Kenapa Masih Diperdebatkan?
Di era informasi digital ini, ketika manusia sudah berhasil mendaratkan rover di Mars dan mengirim teleskop ke ujung tata surya, masih ada sekelompok orang yang dengan yakin mempercayai bahwa Bumi berbentuk datar seperti piring raksasa. Fenomena ini bukan sekadar anomali kecil—gerakan Flat Earth atau Bumi Datar mengalami kebangkitan dramatis dalam dekade terakhir, dengan jutaan pengikut di seluruh dunia.
Bagaimana mungkin di abad ke-21 ini, ketika bukti ilmiah tentang bentuk bulat Bumi sudah begitu melimpah, perdebatan ini masih bertahan? Apakah ada yang salah dengan sistem pendidikan kita, ataukah fenomena ini mengungkap sesuatu yang lebih mendalam tentang psikologi manusia dan cara kita memproses informasi?
Sejarah Singkat: Dari Aristoteles hingga Era Digital
Zaman Kuno: Fondasi Pengetahuan
Kontras dengan anggapan populer, konsep Bumi bulat bukanlah penemuan modern. Sejak abad ke-6 SM, filsuf Yunani kuno seperti Pythagoras sudah mengajukan teori bahwa Bumi berbentuk bulat. Aristoteles, pada abad ke-4 SM, memberikan bukti observasional pertama yang kuat melalui pengamatan gerhana bulan—bayangan Bumi yang terlihat pada permukaan bulan selalu berbentuk melengkung, menunjukkan bahwa Bumi adalah bola.
Eratosthenes, seorang matematikawan Yunani, bahkan berhasil menghitung keliling Bumi pada tahun 240 SM dengan akurasi mencengangkan. Menggunakan bayangan tongkat di dua kota berbeda (Alexandria dan Syene), dia memperoleh hasil sekitar 39.350 km—hanya berbeda 1,4% dari nilai aktual 40.075 km.
Era Eksplorasi: Bukti Empiris
Pelayaran Christopher Columbus (1492) dan Ferdinand Magellan (1519-1522) memberikan bukti praktis tentang bentuk bulat Bumi. Magellan membuktikan bahwa seseorang bisa berlayar ke arah barat dan kembali ke titik asal dari timur—sesuatu yang mustahil pada Bumi datar.
Pada abad ke-17, Galileo Galilei dengan teleskopnya mengamati fase-fase planet Venus, yang hanya mungkin terjadi jika planet-planet berbentuk bulat dan mengelilingi Matahari. Pengamatan ini memperkuat model heliosentrik dan konsep planet-planet bulat.
Kebangkitan Modern Gerakan Bumi Datar
Akar Sejarah Kontemporer
Gerakan Bumi Datar modern dimulai dari Samuel Shenton pada 1950-an, yang mendirikan Flat Earth Society. Setelah kematiannya, Daniel Shenton (tanpa hubungan keluarga) menghidupkan kembali organisasi ini pada 2009 melalui internet. Namun, figur paling berpengaruh adalah Patricia Steere dan Mark Sargent, yang memanfaatkan platform YouTube untuk menyebarkan teori ini.
Netflix bahkan memproduksi dokumenter “Behind the Curve” (2018) yang mengeksplorasi komunitas Flat Earth, menunjukkan betapa seriusnya fenomena ini.
Statistik Mengejutkan
Survey YouGov tahun 2018 mengungkap fakta mengejutkan: 7% orang Amerika berusia 18-24 tahun “sangat yakin” atau “agak yakin” bahwa Bumi datar. Di Brasil, angka ini mencapai 11% pada 2019. Meskipun tampak kecil, dalam konteks populasi global, ini berarti puluhan juta orang.
Google Trends menunjukkan pencarian “flat earth” meningkat 340% antara 2014-2017. YouTube melaporkan lebih dari 1 miliar views untuk video bertema Bumi datar hingga 2019—sebelum platform ini mulai mengurangi rekomendasi konten tersebut.
Bukti Ilmiah Bentuk Bulat Bumi: Tak Terbantahkan

1. Bukti Visual Langsung
Foto dari Luar Angkasa: Sejak misi Apollo hingga International Space Station (ISS), ribuan foto menunjukkan Bumi sebagai bola biru yang mengambang di ruang angkasa. Kamera yang dipasang di ISS mengalirkan video real-time 24/7, menunjukkan rotasi Bumi.
Gerhana: Setiap gerhana bulan menampilkan bayangan Bumi yang selalu berbentuk melengkung pada permukaan bulan. Jika Bumi datar, bayangan ini seharusnya berbentuk garis lurus atau oval, bukan selalu melengkung sempurna.
2. Bukti Fisika dan Gravitasi
Gravitasi: Hukum gravitasi Newton menjelaskan mengapa objek jatuh ke “bawah” di mana pun di Bumi. Pada bola, gravitasi menarik segala sesuatu menuju pusat massa. Pada bidang datar, tidak ada penjelasan ilmiah mengapa gravitasi bekerja konsisten di seluruh permukaan.
Pendulum Foucault: Eksperimen yang bisa dilakukan di mana saja ini membuktikan rotasi Bumi. Pendulum bergerak pada bidang tetap sementara Bumi berputar di bawahnya, menciptakan pola jejak yang prediktabel berdasarkan lintang geografis.
3. Bukti Observasional Sehari-hari
Kapal di Cakrawala: Ketika kapal menjauh, bagian badan kapal menghilang lebih dulu sebelum layar atau struktur atas—konsisten dengan kelengkungan Bumi.
Zona Waktu: Sistem zona waktu global hanya masuk akal jika Bumi bulat dan berputar. Ketika matahari terbenam di New York, dia terbit di Tokyo—mustahil pada Bumi datar.
Perbedaan Konstelasi: Orang di belahan bumi utara melihat konstelasi berbeda dari orang di selatan. Polaris (bintang utara) tidak terlihat dari Australia—fenomena yang tidak bisa dijelaskan pada model Bumi datar.
4. Teknologi Modern
GPS dan Satelit: 31 satelit GPS mengorbit Bumi untuk memberikan navigasi akurat. Sistem ini beroperasi berdasarkan perhitungan yang mengasumsikan Bumi bulat. Jika Bumi datar, GPS tidak akan berfungsi.
Penerbangan Antartika: Maskapai seperti LATAM dan Qantas mengoperasikan penerbangan langsung melintasi Antartika, menunjukkan bahwa benua ini tidak mengelilingi seluruh dunia seperti klaim Bumi datar.
Psikologi Dibalik Kepercayaan Bumi Datar
Bias Kognitif dan Persepsi
Bias Konfirmasi: Manusia cenderung mencari informasi yang mendukung keyakinan existing mereka sambil mengabaikan bukti yang bertentangan. Algoritma media sosial memperkuat bias ini dengan menciptakan “echo chamber”—lingkungan informasi yang hanya memperkuat pandangan serupa.
Dunning-Kruger Effect: Fenomena psikologi dimana orang dengan pengetahuan terbatas pada suatu subjek merasa over-confident tentang kemampuan mereka. Beberapa penganut Bumi datar merasa lebih pintar dari komunitas ilmiah global karena mereka “tidak tertipu” oleh “konspirasi besar”.
Kebutuhan Psikologis
Kontrol dan Agensi: Percaya pada teori konspirasi memberikan rasa kontrol dan pemahaman khusus tentang dunia yang “sesungguhnya”. Ini menarik terutama bagi orang yang merasa powerless dalam kehidupan sehari-hari.
Identitas Kelompok: Komunitas Flat Earth memberikan sense of belonging yang kuat. Anggotanya merasa seperti bagian dari kelompok elit yang memiliki pengetahuan rahasia, menciptakan identitas yang kuat.
Distrust Terhadap Otoritas: Era post-truth dan polarisasi politik menciptakan skeptisisme mendalam terhadap institusi, termasuk sains mainstream. Bagi sebagian orang, menolak konsensus ilmiah menjadi bentuk perlawanan terhadap “establishment”.
Fenomena Digital dan Algoritma
Peran Media Sosial
YouTube Algorithm: Platform video ini sempat menjadi breeding ground utama konten Bumi datar. Algoritma rekomendasi yang dirancang untuk memaksimalkan watch time tanpa sengaja mempromosikan konten kontroversial dan ekstrem karena menghasilkan engagement tinggi.
Facebook Groups: Grup-grup tertutup menciptakan ruang aman bagi penganut teori ini untuk berbagi “bukti” tanpa tantangan kritis dari luar.
Viral Marketing Psychology
Video Bumi datar menggunakan teknik storytelling yang menarik: mereka memposisikan viewer sebagai “detektif” yang mengungkap kebenaran tersembunyi. Ini jauh lebih engaging daripada penjelasan sains konvensional yang sering kali kering dan teknis.
Dampak Sosial dan Pendidikan

Erosi Literasi Sains
Survei National Science Foundation 2018 menunjukkan hanya 73% orang Amerika yang tahu bahwa Bumi mengelilingi Matahari—penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Fenomena Bumi datar merefleksikan krisis literasi sains yang lebih luas.
Polarisasi Epistemologis
Perdebatan Bumi datar mencerminkan perpecahan fundamental tentang bagaimana kita menentukan kebenaran. Satu sisi mengandalkan metode ilmiah, peer review, dan konsensus expert. Sisi lain memprioritaskan “riset mandiri” dan skeptisisme terhadap authority.
Efek pada Anak-anak
Guru-guru melaporkan siswa yang datang ke kelas dengan keyakinan Bumi datar dari YouTube. Ini menciptakan tantangan pendidikan baru: bagaimana mengajarkan sains ketika informasi pseudosains begitu mudah diakses dan menarik?
Analogi: Fenomena Bumi Datar seperti “Narkoba Informasi”
Konten Bumi datar memiliki karakteristik yang mirip dengan zat adiktif. Seperti narkoba yang memberikan dopamine rush, video-video konspirasi memberikan “informational high”—perasaan superior karena mendapat pengetahuan “rahasia”.
Tahapan kecanduan informasi pseudosains:
Gateway Effect: Dimulai dari skeptisisme sehat terhadap pemerintah atau media, kemudian escalate ke teori yang lebih ekstrem.
Tolerance: Membutuhkan teori konspirasi yang semakin kompleks dan dramatic untuk mendapat “high” yang sama.
Withdrawal: Ketika dihadapkan bukti ilmiah, mengalami cognitive dissonance yang tidak nyaman, mendorong mereka kembali ke echo chamber yang aman.
Dependency: Identitas personal menjadi terikat dengan keyakinan ini, membuat sangat sulit untuk abandon belief system mereka.
Strategi Mengatasi Misinformasi
Pendekatan yang Tidak Efektif
Debunking Agresif: Penelitian menunjukkan bahwa menyerang keyakinan seseorang secara langsung sering kali backfire, memperkuat belief mereka (backfire effect).
Overwhelming dengan Data: Memberikan terlalu banyak bukti ilmiah bisa membuat overwhelmed dan defensive.
Pendekatan yang Lebih Efektif
Street Epistemology: Teknik bertanya yang membantu orang mengeksplorasi fondasi keyakinan mereka sendiri tanpa konfrontasi langsung.
Finding Common Ground: Mulai dari area agreement sebelum membahas perbedaan.
Storytelling: Menggunakan narasi menarik untuk mengajarkan sains, seperti yang dilakukan Neil deGrasse Tyson atau Brian Cox.
Pembelajaran dari Fenomena Ini
Untuk Komunitas Ilmiah
Komunitas sains perlu lebih baik dalam science communication. Terlalu lama, ilmuwan menganggap bahwa fakta berbicara sendiri. Fenomena Bumi datar menunjukkan bahwa cara penyampaian sama pentingnya dengan konten.
Untuk Pendidik
Sistem pendidikan harus mengajarkan critical thinking dan media literacy sebagai keterampilan inti. Siswa perlu dibekali tools untuk mengevaluasi sumber informasi dan memahami scientific method.
Untuk Platform Digital
Tech companies mulai menyadari tanggung jawab mereka. YouTube kini mengurangi monetisasi konten konspirasi dan mempromosikan sumber authoritative untuk topik kontroversial.
Masa Depan: Tantangan dan Harapan
Teknologi Emerging
Virtual Reality: VR bisa memberikan pengalaman first-person melihat Bumi dari luar angkasa, potentially lebih meyakinkan daripada foto atau video tradisional.
AI Education: Artificial intelligence bisa personalize pendekatan sains untuk berbagai gaya belajar dan tingkat skeptisisme.
Risiko Berkelanjutan
Dengan meningkatnya polarisasi politik dan distrust terhadap institusi, fenomena seperti Bumi datar kemungkinan akan terus ada. Climate change denial, anti-vaccine movement, dan berbagai bentuk science denial lainnya menunjukkan bahwa ini adalah masalah sistemik.
Daftar Pustaka
- Aristotle. “On the Heavens.” Circa 350 BCE.
- National Science Foundation. “Science and Engineering Indicators 2018.”
- YouGov. “Most Flat Earthers consider themselves very religious.” 2018.
- Behind the Curve. Directed by Daniel J. Clark. Netflix, 2018.
- Lewandowsky, S., et al. “Misinformation and Its Correction: Continued Influence and Successful Debiasing.” Psychological Science in the Public Interest, 2012.
- Google Trends. “Flat Earth search trends 2014-2019.”
- Boghossian, Peter. “A Manual for Creating Atheists: Street Epistemology.” Pitchstone Publishing, 2013.
- Dunning, David, et al. “Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in Recognizing One’s Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments.” Journal of Personality and Social Psychology, 1999.
Fenomena Bumi datar di era digital ini mengungkap lebih dari sekadar kesalahpahaman saintifik—ia merefleksikan krisis epistemologis yang lebih mendalam tentang bagaimana kita menentukan kebenaran di dunia yang overwhelmed dengan informasi. Meskipun bukti ilmiah tentang bentuk bulat Bumi sudah overwhelming dan tak terbantahkan, persistensi belief ini mengingatkan kita bahwa fakta saja tidak cukup. Kita perlu memahami psikologi manusia, dinamika sosial, dan kekuatan narrative dalam membentuk keyakinan.
Apakah fenomena ini menunjukkan kegagalan sistem pendidikan kita, ataukah ini adalah harga yang harus dibayar untuk kebebasan informasi di era digital? Dan yang lebih penting: bagaimana kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih tahan terhadap misinformasi tanpa mengorbankan healthy skepticism yang justru penting untuk kemajuan sains?
- Bumi Datar atau Bulat? Sains Sudah Menjawab, tapi Kenapa Masih Diperdebatkan? - September 7, 2025
- Gula Lebih Berbahaya daripada Narkoba? Fakta Mengejutkan dari Dunia Sains - September 5, 2025
- Dampak Brain Drain: Apa yang Bisa Kita Lakukan di Sektor Kimia & Pendidikan? - September 4, 2025
Leave a Reply